« Home | Indonesia, Negeri Pengekspor Pasien » | Forza Italia!! » | Manajemen finansial anak kos » | Compromise Effect » | Jas Merah » | Child Exploitation Tracking System » | Kejutan Prancis » | Sekilas tentang Barcode » | Jadi Relawan? » | Pemahaman Hidup »

Korupsi di Republik Drakula

Di Republik Drakula, para warganya tak lagi sadar apakah dia drakula atau bukan. Berbeda dengan drakula tradisional, mereka beroperasi di siang bolong, tanpa malu menyeringaikan taringnya di tempat-tempat terang, di layar televisi maupun di halaman muka koran-koran. Mereka tak takut salib, mantera maupun doa; mereka bahkan termasuk yang setia memenuhi masjid, mengunjungi gereja dan berdoa di pura. Drakula tidak hanya jahat karena mencucup darah korbannya. Dia juga menularkan penyakitnya. Drakula yang besar menjadi predator bagi drakula yang lebih kecil. Dan yang lebih kecil menularkan penyakitnya pada yang gurem, dan seterusnya dalam lindungan ''hukum rimba'' yang sempurna.

Di Republik Drakula, para penguasa melahap suap atau mengutip komisi dari lisensi monopolistik kalangan bisnisman. Mereka bahkan dengan satu atau dua cara memaksakan kolusi dan nepotisme lewat penguasaan saham perusahaan. Para pengusaha, pada gilirannya, tak mungkin memprotes. Bukan karena tak mau, mereka menikmatinya: lebih mudah buat mereka menghisap ''darah'' konsumen yang tanpa daya ditinggalkan penguasa negeri yang sudah terlebih dulu mabuk darah. Proses pendrakulaan tak berhenti di kalangan pejabat. ''Drakulanisasi'' menjalar ke profesi-profesi yang selama ini dipandang sebagai pilar-pilar moral: hakim, pengacara, ulama, pendeta, intelektual dan wartawan. Bahkan rakyat pun -- para korban -- menjadi drakula-drakula baru yang haus akan korban-korban berikutnya.

Rakyat tak hanya menonton. Mereka menunggu kesempatan untuk juga merampok kekayaan negara. Penyakit ''haus darah'' kini menyebar secepat epidemi virus AIDS. Seantero negeri tercemar. Di Republik Drakula, korupsi menyebar tanpa kendali karena setiap warga berpikir bisa menemukan peluang lebih bagus dengan membiarkan tindakan laknat itu berlangsung. Secara historis, gejala seperti ini muncul di bawah sistem tirani, dimana rakyat hanya memiliki kemungkinan kecil untuk melindungi hak-haknya. Sedemikian kecil sehingga membuat mereka tak peduli dan berpikir bahwa cara terbaik yang bisa mereka lakukan hanyalah dengan bergabung dalam perilaku korup.

Selayang Pandang

  • Namaku Sony Kisyono
  • Asal Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
  • Lahir di Semarang 21 tahun yang lalu, bocah kecil itu kini sudah tumbuh dewasa. Berbekal ilmu yang didapatnya dari SD Sompok 02, SLTP 2, dan SMA 3 (semuanya di Semarang), sekarang ia merantau mencari ilmu & pengalaman di Bandung atau lebih tepatnya di Kampus Telekomunikasi Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
Profil lengkap

Pesan Kesan

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x
Google Docs & Spreadsheets -- Web word processing and spreadsheets. Edit this page (if you have permission) | Report spam