« Home | Menyimpan Data di Tubuh Bakteri » | Sukses & Perubahan » | Database Pesawat Seluruh Dunia » | Tipe Perokok » | Indonesia Raya versi Lengkap » | Jenis Pemimpin » | Nyetir di Jalan Basah » | Workshop SCM Yogya » | Beda Lesu & Lelah » | Tips Menghemat Harddisk »

Diskriminatif Pangan di Indonesia

Di Indonesia masih kerap terjadi keamanan pangan diskriminatif. Di satu sisi, guna mencapai nilai ekspor yang sebesar-besarnya, Indonesia berupaya untuk mematuhi segala persyaratan baku mutu keamanan pangan negara pengimpor. Sebaliknya untuk konsumen dalam negeri, baku keamanan pangan belum sepenuhnya dipatuhi. Realita ini menjadi aspek diskriminasi keamanan pangan terhadap konsumen pangan domestik. Masalah impor daging dan tepung tulang dari negara yang belum bebas sapi gila dapat menjadi contoh kian runyamnya masalah diskriminasi ini.

Trauma formalin pada awal tahun 2006 belum pulih karena hingga kini pemerintah belum mampu menetapkan jenis pengawet baru untuk menggantikan formalin. Persoalan baru keamanan pangan sudah muncul, yakni sejumlah pedagang beras dengan enteng tanpa beban menggunakan pemutih tekstil untuk memutihkan beras sisa impor yang berwarna kusam.

Kebutuhan pangan untuk penduduk, yang jumlahnya terus meningkat, mendorong pelaku industri pangan kerap melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan daya awet produknya. Penggunaan zat pengawet yang tidak termasuk food grade terus digunakan karena pasar mendukung. Makanan diposisikan semata komoditas ekonomi untuk meraup untung sehingga penggunaan bahan tambahan pangan melebihi takaran bahkan menambahkan bahan yang tidak semestinya tetap marak.

Setiap hari kita berhadapan dengan teror yang bersumber dari makanan. Berulangnya berbagai kasus makanan berpengawet dan penyeludupan daging ilegal merupakan bentuk teror mental yang membunuh. Ancaman kematian pun terus mengintai dari balik makanan yang dikonsumsi, baik di rumah, kantin sekolah, kantor maupun di berbagai pesta.

Pemerintah telah gagal melindungi warga dari serbuan makanan berpengawet dan beras yang diputihkan dengan pemutih tekstil untuk kemudian mati secara perlahan. Peredaran berbagai makanan berpengawet yang tak aman bagi kesehatan bisa melahirkan monster yang memiliki daya destruktif yang mengerikan.

Solusi atas perilaku horor ini tak bisa secara parsial dengan hanya memberikan aturan main lewat perundang-undangan, tetapi akar masalah adalah tipisnya moralitas dan soal teladan yang kurang.

Ketika moral sudah terdegradasi oleh berhala uang, aturan seberat apa pun sanksinya tetap bisa diakali sebab dengan mudah menghalalkan segala cara. Kini dibutuhkan habitus baru yang mau menanggalkan manusia lama kita guna mengasah penajaman kearifan dan hati nurani untuk mengalahkan keserakahan yang mencari untung di atas derita orang lain.

Langkah ini patut dimulai dari para pemimpin yang menakhodai bangsa ini dengan bekerja melayani rakyat secara jujur dan jauh dari kontaminasi virus korupsi yang membusukkan hati nurani mereka.

Selayang Pandang

  • Namaku Sony Kisyono
  • Asal Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
  • Lahir di Semarang 21 tahun yang lalu, bocah kecil itu kini sudah tumbuh dewasa. Berbekal ilmu yang didapatnya dari SD Sompok 02, SLTP 2, dan SMA 3 (semuanya di Semarang), sekarang ia merantau mencari ilmu & pengalaman di Bandung atau lebih tepatnya di Kampus Telekomunikasi Sekolah Tinggi Teknologi Telkom
Profil lengkap

Pesan Kesan

Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x
Google Docs & Spreadsheets -- Web word processing and spreadsheets. Edit this page (if you have permission) | Report spam